NEFAnews.com – Tidak banyak tahu bahwa memalsukan data pribadi yang tertuang di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bisa berurusan dengan hukum.
Contoh kasus ditemukan ada KTP yang mencatumkan informasi palsu atau data tidak sesuai data pribadi, dimana di data KTP tertulis agama berbeda dengan agama pemilik KTP.
Meski tidak ada ketentuan hukum yang secara langsung membuat agama yang dicantumkan di KTP tidak sesuai dengan agama yang sebenarnya menjadi tindak pidana. Namun, manipulasi data KTP, termasuk agama, bisa menjadi masalah hukum.
Adapun sanksi untuk pemalsuan atau manipulasi data pribadi, termasuk yang ada di KTP, bisa berupa penjara hingga denda, tergantung pada jenis pelanggaran dan Undang-Undang yang melanggarnya.
Jika data pribadi dipalsukan atau dimanipulasi, tindakan tersebut dapat dijerat dengan ketentuan dalam UU PDP, yang mengatur sanksi pidana seperti penjara hingga 5 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar
Begitu pun sanksi bagi penerbit KTP yang memuat data palsu atau melakukan manipulasi data kependudukan dapat berupa pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 75 juta, sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
UU Adminduk juga mengatur sanksi bagi yang melakukan manipulasi data kependudukan (termasuk data di KTP), seperti penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp75 juta.
Pelanggaran seperti pemalsuan nama, NIK, atau data lain di KTP dapat dikenakan sanksi yang berbeda, tergantung pada tingkat keparahan dan tujuan dari pemalsuan tersebut.
Contoh kasus, pencantuman agama yang tidak sesuai di KTP tidak secara langsung dipidana. Namun, tindakan manipulasi atau penyebaran data kependudukan yang tidak benar dapat dikenakan sanksi pidana. Jika ada perubahan agama, sebaiknya segera dilakukan perubahan KTP melalui prosedur yang benar.
KTP adalah identitas resmi yang memuat data kependudukan, termasuk agama. Data di KTP digunakan untuk berbagai keperluan administrasi.
Secara hukum setiap warga negara memiliki hak untuk memeluk dan menjalankan agama atau kepercayaan sesuai kehendaknya. Pilihan agama adalah hak pribadi yang dilindungi.
Nakmun jika terjadi manipulasi data KTP, termasuk agama yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka bisa dianggap pelanggaran hukum.
Apabila seseorang dengan sengaja mengubah agama di KTP tanpa benar-benar berpindah agama, maka ini dapat dianggap sebagai tindakan pemalsuan data atau penipuan, yang dapat memiliki konsekuensi hukum.
Jika ada perubahan data, termasuk agama, sebaiknya segera dilakukan perubahan di KTP melalui prosedur yang benar.
Proses perubahan agama di KTP biasanya melibatkan kantor Dukcapil setempat dan memerlukan persyaratan tertentu.
Dirjen Dukcapil, Teguh Setyabudi, menegaskan bahwa pemalsuan dokumen kependudukan seperti KTP adalah tindakan pidana yang melanggar Pasal 94 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
“Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan dokumen kependudukan dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun”, ujar Teguh (dilansir dari dirjen dukcapil).
Referensi:
Berdasarkan Pasal 94 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, orang yang sengaja menyebarluaskan data kependudukan yang tidak benar dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 75 juta.
Undang-undang yang mengatur larangan pemalsuan agama di KTP adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pasal 94 UU ini mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan pemalsuan dokumen kependudukan, termasuk KTP.
Ketentuan pidana pemalsuan KTP-el dan dokumen kependudukan lainnya telah diatur dalam Pasal 95B Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pasal tersebut, selain pidana penjara 10 tahun, pelaku pemalsuan juga dapat dikenai denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Selain itu, undang-undang administrasi kependudukan juga mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang memerintahkan, memfasilitasi, dan melakukan manipulasi data kependudukan dan/atau elemen data penduduk. Pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 75 juta rupiah. Hal ini diatur dalam Pasal 94 UU No. 24 Tahun 2013. *